PERUBAHAN STRATEGI MANAGE CARE
MENUJU INDEMNITY CARE
Kelompok 3
Ridwan Alamsyah 17113634
Kelas 2KA24
Kelas 2KA24
FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN
TEKNOLOGI INFORMASI
JURUSAN SISTEM INFORMASI S1
UNIVERSITAS GUNADARMA
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur hanya bagi Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih dan
peyertaanya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
ilmiah ini dengan judul “Perubahan Strategi Manage Care menuju Indemnity Care”.
Penulis menyadari tidak ada manusia yang sempurna begitu juga
dalam penulisan ilmiah ini, apabila nantinya terdapat kekurangan, kesalahan
dalam karya tulis ilmiah ini, penulis sangat berharap kepada seluruh pihak agar
dapat memberikan kritik dan juga saran guna kesempurnaan penulisan ilmiah ini.
Pada Kesempatan kali ini juga penulis mendapat banyak berbagai
bantuan dari berbagai pihak , oleh karena itu dari hati terdalam penulis juga
mengucapkan rasa trimakasih terutama kepada bapak Muhammad Firdaus selaku dosen
yang telah membing kami untuk menyelesaikan penulisan ilmiah ini.
Akhir kata, semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan manfaat
dan bahan pembelajaran kepada kita semua.
Jakarta, Maret 2015
Kelompok 3.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sebuah perusahaan yang menghadapi masalah kesulitan keuangan
memutuskan untuk mengubah strategi fasilitas kesehatan karyawannya untuk
mengoptimalkan pengelolaan keuangan perusahaan tersebut. Perusahaan yang semula
menggunakan strategi manage care sebagai fasilitas kesehatan yaitu pengggunaan
fasilitas asuransi kesehatan karyawan pada provider yang ditunjuk dengan tata
cara mekanisme yang teratur tanpa ada batasan biaya nominal sehingga
menyebabkan beban keuangan perusahaan yang terlalu besar pada fasilitas
kesehatan. Perubahan strategi manage care ke indemnity care sebagai fasilitas
kesehatan karyawan yang mempunyai batas nominal atau juga biasa disebut plafon
akan mengurangi beban keuangan yang tanpa batas dalam fasilitas asuransi
kesehatan.
Perubahan strategy manage care ke indemnity care adalah bukan
suatu hal yang mudah begitu saja seperti membalikan sebuah tangan bagi suatu
perusahaan akan tetepi suatu keputusan yang melibatkan respect berbagai
perilaku organisasi di dalamnya baik pro dan contra. Sehingga dalam buku
(Psikologi Industri Organisasi oleh Ino Yuwono dkk. pada tahun 2005, pembagian
dua buah atas dan bawah) itu membuat teori Herzberg dikenal
orang sebagai two factor theory atau motivator hygiene theory menyatakan bahwa
kebijkan perusahaan dapat menimbulkan ketidak puasan karyawan sehingga dapat
mempengaruhi produktifitas perusahaan.
Tujuan pembahasan ini, yaitu :
- Memahami
terlebih dahulu apa itu manage care dan indemnity care
- Perusahaan telah
melakukan pendekatan terhadap implementasi kebikajakan.
- Menerapkan
bidang ilmu perilku organisasi dan strategi komunikasi organisasi dalam
upaya mengatasi
pergejolakan negative pada perubahan strategi fasilitas kesehatan.
BAB II
LANDASAN
TEORI
Dalam bukunya yang berjudul Implementing Public Policy yang
diterbitkan tahun 1980, Edwards III menyatakan bahwa proses implementasi
sebagai : “…the state of policy making between the establishment of a policy
(such as the passage of a legislative act, the issuing of an executive order,
the handing down of a judicial decision, or the promulgation of a regulatory
rule) and the consequences of the policy for the peple whom it effect.”
(Edwards, 1980 : 1)
Implementasi menurut Edwards, diartikan sebagai tahapan dalam
proses kebijaksanaan yang berada diantara tahapan penyusunan kebijaksanaan dan
hasil atau konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan itu
(output, outcome). Yang termasuk aktivitas implementasi menurutnya adalah
perencanaan, pendanaan, pengorganisasian, pengangkatan dan pemecatan karyawan,
negosiasi dan lain-lain. Dalam model yang dikembangkannya, ia mengemukakan ada
4 (empat) faktor kritis yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan
implementasi, yaitu :
1.1 Komunikasi
a. Transmisi
Sebuah kebijakan yang akan diimplementasikan harus disalurkan pada
pejabat yang akan melaksanakannya. Seringkali masalah transmisi terjadi
manakala pelaksana tidak menyetujui kebijakan (disposisi) tersebut dengan
mendistorsikan perintah kebijakan atau bahkan menutup komunikasi yang
diperlukan. Masalah transmisi juga terjadi manakala kebijakan yang akan
diimplementasikan harus melalui struktur birokrasi yang berlapis atau karena
tidak tersedianya saluran komunikasi yang memadai (sumberdaya).
b. Kejelasan
(Clarity)
Kejelasan tujuan dan cara yang akan digunakan dalam sebuah
kebijakan merupakan hal yang mutlak agar dapat diimplementasikan sebagaimana
yang telah diputuskan. Namun hal tersebut tidak selalu terjadi. Ada berbagai
alasan yang menyebabkan sebuah kebijakan tidak dirumuskan secara jelas,
diantaranya adalah: i). kerumitan dalam pembuatan kebijakan yang terjadi antara
eksekutif dan legislatif, sehingga mereka cenderung menyerahkan detil
pelaksanaannya pada bawahan; ii) Adanya opisisi dari masyarakat atas kebijakan
tersebut; iii). Kebutuhan mencapai konsensus antara tujuan yang saling bersaing
saat merumuskan kebijakan tersebut; iv). Kebijakan baru yang para perumusnya
belum terlalu menguasai masalah (tentang ini sering dikatakan sebagai upaya
untuk menghindar dari tanggung jawab); v). Biasanya terjadi pada kebijakan yang
menyangkut aturan hukum. Pada bagian ini selain mengaitkan implementasi dengan
tipe/jenis kebijakan, tampaknya Edwards III juga banyak mengacu pada hasil
studi Bardach dalam Implementation Game.
c. Konsistensi
Implementasi yang efektif selain membutuhkan komunikasi yang
jelas, juga yang konsisten. Proses transmisi yang baik namun dengan perintah
yang tidak konsisten akan menyebabkan membingungkan pelaksana. Banyak hal yang
bisa menyebabkan arah kebijakan menjadi tidak konsisten, diantaranya karena :
i). Kompleksitas kebijakan yang harus dilaksanakan; ii). Kesulitan yang biasa
muncul saat memulai implementasi sebuah kebijakan baru; iii). Kebijakan
memiliki beragam tujuan dan sasaran, aau kadang karena bertentangan dengan
kebijakan yang lain; iv). Banyaknya pengaruh berbagai kelompok kepentingan atas
isu yang dibawa oleh kebijakan tersebut.
Yang dimaskud dengan sumberdaya yang diperlukan dalam implementasi
menurut Edwards III adalah :
a. Staff, yang jumlah dan skills (kemampuannya)
sesuai dengan yang dibutuhkan.
b. Informasi.
Informasi berbeda dengan komunikasi. Yang diperlukan di sini
adalah : i). Informasi yang terkait dengan bagaimana melaksanakan kebijakan
tersebut (Juklak-Juknis) serta, ii). Data yang terkait dengan kebijakan yang
akan dilaksanakan.
c. Kewenangan
Kewenangan yang dibutuhkan dan harus tersedia bagi implementor
sangat bervariasi tergantung pada kebijakan apa yang harus dillaksanakan.
Kewenangan tersebut dapat berwujud : membawa kasus ke meja hijau;
menyediakan barang dan jasa; kewenangan untuk memperoleh dan menggunakan dana,
staf, dll kewenangan untuk meminta kerjasama dengan badan pemerintah yang lain,
dll.
d. Fasilitas
Kendati implementor telah memiliki jumlah staf yang memadai, telah
memahami apa yang diharapkan darinya dan apa yang harus dilaksanakan, juga
telah memperoleh kewenangan yang diperlukan untuk mengimplementasikan
kebijakan, namun tanpa fasilitas fisik yang memadai, implementasi juga tidak
akan efektif. Fasilitas fisik ini beragam tergantung pada kebutuhan kebijakan :
ruang kantor, komputer, dll.
1.3 Disposisi
Yang dimaksud dengan disposisi adalah sikap dan komitmen dari
pelaksana terhadap kebijakan atau program yang harus mereka laksanakan karena
setiap kebijakan membutuhkan pelaksana-pelaksana yang memiliki hasrat kuat dan
komitmen yang tinggi agar mampu mencapai tujuan kebijakan yang diharapkan.
Terdapat tiga unsur utama yang mempengaruhi kemampuan dan kemauan aparat
pelaksana untuk melaksanakan kebijakan yaitu:
a. Kognisi yaitu
seberapa jauh pemahaman pelaksanan terhadap kebijakan.
Pemahaman
terhadap tujuan kebijakan sangatlah penting bagi aparat pelaksana lebih-lebih
apabila sistem nilai yang mempengaruhi sikapnya berbeda dengan sistem nilai
pembuat kebijakan, maka implementasi kebijakan tidak akan berjalan dengan
efektif. Ketidakmampuan administratif dari pelaksana kebijakan yaitu
ketidakmampuan dalam menanggapi kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapan yang
disampaikan oleh masyarakat dapat menyebabkan pelaksanaan suatu program tidak
efektif.
b. Arahan dan
tanggapan pelaksanan.
Hal ini meliputi bagaimana penerimaan, ketidakberpihakan maupun
penolakan pelaksana dalam menyikapi kebijaksanaan.
c. Intensitas respon atau
tanggapan pelaksanaan.
d. Karakter dari pelaksana akan mempengaruhi
tindakan-tindakan pelaksana dalam
mengimplementasikan
kebijakan.
Karena pelaksana
adalah individu yang tidak mungkin bebas dari kepercayaan, aspirasi dan
kepentingan pribadi yang ingin mereka capai. Dalam mengimplementasikan suatu
kebijakan terdapat suatu kemungkinan dari pelaksana untuk membelokkan apa yang
sudah ditentukan demi kepentingan pribadinya, sehingga dengan sikap pelaksana
tersebut dapat menjauhkan tujuan dari kebijakan sebenarnya.
Yang dimaksud dengan Struktur Birokrasi Edwards III adalah
mekanisme kerja yang dibentuk untuk mengelola pelaksanaan sebuah kebijakan.
Ia menekankan perlu adanya Standart Operating Procedure (SOP) yang mengatur
tata aliran pekerjaan diantara para pelaksana, terlebih jika pelaksanaan
program melibatkan lebih dari satu institusi. Ia juga mengingatkan bahwa
adakalanya fragmentasi diperlukan manakala implementasi kebijakan memerlukan
banyak program dan melibatkan banyak institusi untuk mencapai tujuannya.
Perilaku organisasi
Dan menurut (Jerald Greenberg, 2005) Perilaku organisasi adalah
sebuah bidang multidisiplin yang berusaha mengetahui perilaku dalam organisasi
dengan cara mempelajari proses individu, grup dan organisasi secara sistematis.
perilaku organisasi menggunakan pendekatan ilmiah untuk memahami perilaku
organisasi maupun pendekatan praktisi untuk meningkatkan efektifitas organisasi
dan kesejahteraan individu.
Karakteritik
bidang ilmu perilaku organisasi adalah sebagai berikut:
a. Perilaku
organisasi didasarkan berdasarkan metode keilmuan (scientifik) untuk mengatasi permasalahan
managerial. Perilaku organisasi berusaha mengetahui dan mempelajari proses
perilaku dengan menggunakan pendekatan empiris yaitu berdasarkan pada observasi
dan pengukuran fenomena secara sistematik.
b. Perilaku
organisasi mempelajari individu, kelompok dan organisasi
c. Perilaku organisasi bersifat interdisiplin.
d. Perilaku
organisasi digunakan sebagai dasar untuk meningkatkan efektifitas organisasi
dan kesejahteraan individu.
BAB III
PEMBAHASAN
Bagi setiap manusia, kesehatan merupakan hal yang terpenting dalam
menjalani kehidupan. Di setiap hari yang baru, kita berdoa untuk selalu
diberikan kesehatan, dan bentuk upayanya yaitu dengan berolahraga secara rutin.
Harga dari sebuah kesehatan tidaklah ternilai. Oleh karenanya, banyak
organisasi yang terjun dalam bidang kesehatan. Pada blog ini, kami mencoba menjelaskan
mengenai Manage Care dan Indemity Care. Ada suatu kasus dimana sebuah
perusahaan yang bergerak dalam asuransi kesehatan mengalami suatu kerugian
dengan karyawan sebanyak 200 orang, dan menanyakan solusi perubahan stategi
dari Manage Care menuju Indemity Care. Sebelum kita membahas stategi
perubahannya, mari kita pelajari arti atau definisi dari Manage Care dan
Indemity Care.
Manage Care terbentuk oleh karena masukan atau kritik dari
berbagai konsumen kepada asuransi kesehatan. Bila kita jabarkan, Manage Care
merupakan salah satu jenis produk asuransi kesehatan yang mengintegrasikan
pembiayaan dan penyediaan perawatan kesehatan dalam suatu sistem yang mengelola
biaya, memberikan kemudahan akses pada seluruh pesertanya sehingga pembiayaan
tersebut menjadi efisien dan efektif. Sistem Manage Care di Indonesia, dapat
ditafsirkan dengan JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat). Dalam
kaitannya dengan JPKM, Sulastomo dengan bukunya yang berjudul Manajemen
Kesehatan menyatakan : Di Indonesia melalui berbagai penyesuaian dan
modifikasi, lahirlah konsep JPKM . Konsep ini merupakan pemikiran dari
masyarakat Indonesia untuk memberikan jaminan pemeliharaan kesehatan yang
komprehensif dengan pengendalian mutu pelayanan serta pembayaran praupaya
(prepaid).
Contoh aplikasi dari sistem Manage Care yang lain adalah
BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan). Mungkin kita tidak asing
bila mendengar kata BPJS, ya asuransi kesehatan dari pemerintah ini sangat
membantu bagi masyarakat Indonesia. BPJS menggunakan sistem Manage Care yang
didasarkan oleh data WHO (World Health Organization). Organisasi kesehatan
dunia ini menyatakan bahwa pelayanan kesehatan sudah berubah dari sosial
menjadi komersil. Padahal dari 191 negara sudah menerapkan sistem patient safety.
Tidak hanya masuk ke rumah sakit untuk berobat tetapi juga untuk mendapatkan
kesembuhan.
Prinsip Indemity merupakan suatu prinsip yang mengatur
mengenai pemberian ganti-kerugian. Hal ini berarti bahwa penanggung akan
memberikan ganti-rugi sesuai dengan kerugian yang benar-benar diderita
tertanggung, tanpa di tambah atau di pengaruhi unsur-unsur mencari keuntungan.
REFERENSI
- George Charles Edwards III, Implementing Public Policy. 1980.
- Teori Motivasi Dua Faktor dari Herzberg (the two Factors Theory) yang diterbitkan
Psikologi Industri Organisasi oleh Ino Yuwono dkk. pada tahun 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar